Senin, 24 Juni 2013

Yours, tasted moccha.

Those coffee and times can't heal my wounds. Tanganku terus bergetar tiap memegang benda-benda itu. Entah yang hanya beberapa gram, atau yang ratusan pound. Aku curiga, jangan jangan aku mengidap epilepsi (eh, apa itu? Parkinson? Yah itu dia.) Atau ini hanya sisa-sisa kopi tadi pagi.

Sometimes I do believe that those cups of coffee really heal my wounds. Honestly, hanya ada satu luka yang tertinggal. Tapi emosi itu berubah menjadi puluhan rasa lain yang menggerogoti kepercayaanku terhadap keajaiban.

Menangkap beberapa momen di hadapanku. Aku bukan fotografer andal. Kamera HP 3.2 MP itu saja selalu membuatku bergetar.. objek di depan mataku, mata lensaku, dan kini bayang bayangmu di balik secangkir kopi dingin itu.

Dingin. Sebongkah ice cube mulai melumer di dalam mulutku. Kembali tertawa-tawa mendengarkan bunyi 'kress,' entah untuk kali ke berapa. Tempat favourite yang mungkin tak ada yg mengerti. They called this an old place, i called it's a amazing place. Cahaya temaram di balik lukisan nenek tua, entah apa yang ada di balik keranjangnya.

Kakak muda yang ada di balik counter itu sudah hafal dengan menu pesananku. Vanilla Milkshake, dengan bongkahan es yang masih tersisa. Sambil mengecap moccha frapuchino pesanannya, aku menggumam lembut. Rasa pahit khas moccha yang perlahan lahan menenangkan jiwa.

"Seleramu," kataku pelan. Ia hanya tertawa, kemudian mencoba milkshake milikku. Sebongkah es dimasukkan ke bibirnya, dihisap perlahan, lalu tertawa kencang. Untung kafe itu cukup bising, takkan ada yang mendengar tawa horrornya, -kata adikku sih begitu.-

Aku melongo. Mendadak ia kembali tertawa, kemudian mendekati wajahku. Entah tersisa berapa inchi saja, antara hidungku dan hidungnya. "Mau mencoba sesuatu yang baru?" Bibir manisnya mendekatiku. Sisa moccha itu masih saja menggangguku, aneh ketika mengecup bibir seseorang yang rasanya seperti kopi. Refleks, mendadak aku membalasnya seperti ingin melumat habis aroma kafein yang tertinggal di sudut bibirnya.

Dingin. Dan aku baru sadar, es batu itu masih tertinggal di dalam mulutnya.

"How it feels?" Tanyanya. Bodoh, tentu saja ini dingin. Tapi aku lebih memilih untuk tersenyum, dan kembali bersembunyi dalam peluknya.

Dan kenangan-kenangan manis akan kopi yang tertinggal di balik bibir seseorang akan menjadi lebih menyakitkan lagi, karena kau tahu bibir yang sama takkan lagi menyentuh bibirmu dengan rasa moccha. Hanya gelas hitam pekat itu yang akan menempel, ditemani milkshake dengan bongkahan es yang membuatmu tertawa .. entahlah. Kau ingin tertawa atas kebodohanmu melewatkannya, atau menangis karena waktu telah berputar.. Itu pilihanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar