Kamis, 23 Januari 2014

i.. i..


Kamu dulu ada di sana
Melangkah perlahan-lahan
Lalu berhenti dan berbalik.

Aku sekarang di sini
Melangkah lebih pelan
Berharap derap kakimu menyusulku
Tapi di belakang sana
Sunyi .. i .. i ..
Kenapa?
(dan disisipi beribu tanda tanya lainnya.)

Selasa, 07 Januari 2014

barista.

Lagu itu melantun pelan dari speaker di ujung kafe ini. Kafe yang menyediakan berbagai macam kopi. Sudah ada banyak di penjuru kota, dengan berbagai macam suasana dana desain yang menarik perhatian. Tapi entah kenapa, suasana temaram disini berhasil membuatku betah.

Para pria berjubah hitam lalu lalang sekenanya di pintu masuk. Menunggu klien untuk memutuskan tender, lalu merayakannya sambil tertawa lebar-lebar. Padahal, tujuanku ke sini hanyalah mencari ketenangan, tak disangka malah mendapatkan huru-hara. Aku memilih mengungsikan diri, mencari suasana yang menenangkan. Sudut kafe ini? Jangan kau tanya, tempatnya jauh lebih suram dari rumah hantu yang biasanya mendadak muncul di mall.

Tapi aku memilih mencobanya. Apa yang salah dari mencoba hal baru, selain tidak mencobanya?
Sembari membawa hot coffee latte-ku menjauh, aku mencari bangku yang kosong. Dan tepat seperti dugaanku, semuanya kosong. Suasananya yang sepi nan suram tidak berhasil membuat orang ingin mencoba. Baguslah, pikirku. Dengan begini takkan ada yang menganggu pekerjaanku.

Menulis kisah-kisah yang tak pernah dibaca orang lain selain diri sendiri, itulah aku. Berusaha menekan diri, mencarikan cita-cita yang pas, sayangnya tak pernah ada yang cocok. Sekarang, pelampiasan terbaruku adalah menulis. Merangkai kata demi kata, menjadikannya kisah yang entah dimana menariknya, aku sendiri bahkan tak tahu.

 ***

Hari ini, lagu lagu yang melantun sedang berubah haluan. Bukan lagi pop macam Maroon5, Coldplay, bahkan lagu Noah yang sedang nge-hits pun entah kenapa, seperti hilang ditelan bumi. Kini, lagu-lagu romantis memenuhi ruangan ini. Digantikan dengan lagu-lagu Mariah Carey, balada-nya Michael Jackson, Westlife di seantero ruangan. Apa radionya sedang ganti saluran? batinku

Seiring dengan perubahan model lagu yang semakin menjadi jadi, aku pun memilih berpindah bangku menuju depan bar. Free space, lumayan untuk menjernihkan pikiran. Aku pun mengganti minuman pesananku menjadi Iced Moccha Frappucinno.

“Ugh, manis sekali!” pekikku kaget saat lidah ini menyentuh gelas.

“Oh, terimakasih!” jawab barista di balik meja. Aku termangu, kau pikir aku bicara padamu?

“Ah, aku tahu kau merasakan kopinya, bukan aku,” sahut si barista sambil tertawa. Sial, betapa malunya aku. Kenapa ia bisa mengetahui isi pikiranku? Tapi, setelah dipikir-pikir, ternyata ia manis juga, sama seperti menu hari ini.

***

Perkenalan manis itu kini berujung pada kunjungan rutin ke kedai yang berhias warna langit ini. Hari demi hari berlalu.Tak disangka aku berhasil meng-unlock badge Century Club di jejaring sosial foursquare, atas nama kafe tua dengan barista manis itu.

Bedanya, kini aku sudah tahu bagaimana aku harus memanggilnya. Tidak, tentu bukan dengan “Si Manis” atau “Sweety.” Kau pikir aku sedang bersenda gurau dengan seekor kucing?

Aku bahagia bisa tertawa bersamanya, setiap kali aku datang dan duduk di kursi tinggi merah di pojok, yang selalu kosong setiap jam 4 sore, lalu ia bertanya bagaimana hariku. Kadang, ketika aku sedang sedih dan muak atas segala hal, ia memutarkan lagu-lagu bahagia dan, tentu saja hal itu membuatku merasa lebih baik. Segelas hot mocchacino turut serta meredakan sakit kepala.

“Mungkin, kesempatan kali ini adalah saat yang baik bagi kita untuk saling mengenal satu-sama lain. Bolehkah aku menemani siangmu, bidadari nyasar?” candanya. Aku tertawa malu-malu. Sikap ramah memang membuat orang mudah menyesuaikan diri dengannya. Kami mengambil bangku coklat yang kasa-kasanya mulai termakan usia, mungkin tidak betah dengan pantat-pantat yang menghantamnya.

“Kamu tidak memasukkan apapun ke cangkir ini, kan?” candaku.

“Jangan kebanyakan negative thinking. Ga baik.” Ia menjawab dengan tegas, walaupun di telingaku itu terdengar ketus sekaligus sedikit menyentak.

“Yah, apa salahnya dengan berpikiran hal-hal terburuk yang akan terjadi? Toh dengan begitu aku akan lebih siap menerima kemungkinan yang sedikit lebih baik.”

“Kalau kamu kebanyakan mikir yang jelek, nanti hidup kamu ga bahagia. Jangan mikir yang jelek-jelek, ke orang lain, ke kamu sendiri juga ga boleh,” jawabnya enteng. Aku terhenyak. Barista dengan gigi rapi seputih gigi yang di iklan itu, kini sedang beradu argumen denganku. Aku mengakhiri perdebatan itu dengan hisapan pertama di bibir cangkir. Sengaja kukeraskan volumenya, setidaknya aku ingin membuat dia sadar kalau dia menang.

Kami lalu mulai membicarakan hal-hal aneh di dunia ini. Antara aku dan dia. Dia, barista muda yang baru saja menyandang gelar sarjana sastra, lebih memilih berada di balik bar-bar kedai kopi daripada menyusun frasa-frasa menjadi setumpuk buku pelajaran. Aku, pelajar yang berusaha segera lulus dengan membantai segepok tema skripsi yang tidak jelas kemana arahnya. Dia, yang lebih suka cahaya matahari menembus jendela kamarnya secara menusuk-nusuk, berselisih dengan korden-korden yang masih malu-malu. Aku, yang tergila-gila pada kopi, entah apapun jenisnya. Dia, dan aku, yang kini berdebat, lalu mengakhirinya dengan pemikiran yang amat, sangat dalam.

“Tidak heran. Kamu belajar sastra. Tentu saja, dengan bekali itu kamu bisa berkata-kata seperti itu.”

“Yah, sayangnya aku bukan belajar filsafat aja. Bisa-bisa aku jadi pujangga yang berusaha merebut hatimu, lewat puisi berlapis kopi,” candanya lagi. Otot-otot pipinya tertarik, menyuguhkan seulas senyum yang kini menghiasi hari-hariku. Dan aku yakin, melupakan hari itu bukan opsi yang baik bagi hidupku.

Aku berusaha menampik suara-suara di kepalaku yang mengatakan ada sesuatu pada dirinya, yang membuatku ingin datang, datang dan lagi. Tak hanya untuk menikmati kopi, aku juga ingin berbincang-bincang dengannya lagi.

Tapi aku takut jatuh cinta padanya.

 ***

Aku merindukan segelas kopi yang membuat hari-hariku lebih bersemangat. Aku butuh asupan fisik, sekaligus jiwa. Hari-hari ini begitu panasnya, bahkan AC mobil terpaksa aku pasang dengan suhu terendah, walaupun balasannya aku akan memelihara lendir kekuningan di hidung.

Ia berada di balik bar. Aku bisa melihatnya, mengusap-usap meja. Merapikan peralatannya, mencuci beberapa cangkir spesial, karena dia sendiri yang mencucinya. Baru kusadari hanya cangkir cangkir itu saja yang kupakai selama minum di sini. Aku memandanginya dari jauh, tercenung, memikirkan guratan-guratan yang terbentuk karena memperhatikan lekukan whip cream yang kadang keluar jalur. Dan tiba-tiba, ia melihatku.

Ia tersenyum. Dan aku merindukannya.

Kami kembali duduk berhadap-hadapan, di kursi yang dulunya pertama kali kami duduki, menjadikan itu kencan pertamaku yang sangat berkesan. Ia membawakanku segelas iced coffee. Sikapnya tidak berubah. Dingin, sedingin kopi yang baru saja diberikannya padaku. Cuek, menungguku bertanya hal-hal absurd, yang kemudian dijawab secara puitis olehnya.

“Kau punya tanda lahir?” tanyanya tiba-tiba.

“Yah, ada di sekitar leher. Memangnya kenapa?”

“Ada orang yang bilang, kalau tanda lahir adalah lokasi luka kita, yang menyebabkan kita pulang ke atas sana, melayang-layang sebagai jiwa yang bebas, dan kini berada di sini. Jadi, sepertinya di kehidupan yang lalu, kau terbunuh di leher. Seru juga, tuh,” sambungnya. Ia tersenyum, kemudian tertawa-tawa ringan. Baristaku sayang, aku merindukan tawamu.

“Kau punya tanda lahir?” kini giliranku bertanya padanya. Memastikan bahwa bisa jadi ia dulu partner berperangku.

“Yah. Disini.” Ia menunjuk dada. Entah apa yang ia maksud. “Kau tahu, mungkin dulu aku mati karena tertusuk di sini. Dalam, sangat dalam. Karena rasa sakit itu bisa terbawa menembus waktu, dan sampai saat ini, perasaan itu masih bersarang. Jadi, kau tahu kan makna tanda lahir?” Pertanyaan retoris serta senyumnya kini menjadi penutup perjumpaan sore yang mendadak mendung.

***


Kaulah sang putri di arena perang 
yang menusuk dan menorehkan luka 
namun lupa untuk kembali lagi 
karena hatinya sudah mati

Adakah hari masih tersisa bagiku, untuk menjatuhkan hati pada dirimu?


***
 
Butuh waktu yang tidak lama untuk membuatku kembali ke kedai itu. Mencari-cari sosok barista bercelemek krem, yang sedang bersenandung ria menyanyikan nada-nada sumbang, mencarinya yang kadang-kadang tertawa bangga setiap melihat hasil karyanya, lalu menggoda si pemesan karena kegirangan.

Tapi dia tidak ada.

Hanya ada aroma tubuhnya yang tersisa, dalam sepucuk surat yang diselipkan di sudut kursi coklat tua itu. Aku tahu, itu untukku.

***

Kepadamu, aku pulang. 
Diiringi rintihan tangis kerinduan 
Menanti pelukan di bawah hujan 
Sembari menggengam foto kenangan

Aku tahu kau tahu 

Namun kau segan berada di sana 
Berjejak kaki, melewati hari 
Hanya menanti

Aku bergejolak dalam badai 

Dan kau diam layaknya awan

Kepadamu, aku kembali 

Membawa sejuta harapan yang hancur 
Seperti meteor yang kehilangan panasnya 
Dan remuk setiap kali dihentikan waktu

Aku ingin merengkuh langit 

Agar kau selalu dalam dekapku 
Berusaha menjagamu dalam waktu 
Karena yang kudapat hanya sakit

Tetesan kristal basah dan mengembun 

Menyeruak aroma lama menyentak jiwa 
Seakan ingin berkata 
“Apa kau sadar akan kasihku?”

Aku merindumu 

dalam setiap pergerakan bandul detik

***

Kini, hari-hari hanyalah bermakna dengan segelas iced coffee yang kadang berganti kedudukan dengan hot mocchachino, cahaya-cahaya yang memaksakan diri masuk melalui celah jendela di ujung timur ruang gelap ini, serta aroma yang tertinggal, dari si barista manis.