Minggu, 02 Juni 2013

Terlambat


Kesempurnaan dalam hidup kita tinggal sedikit lagi. Kini kita hanya perlu menanti pergesaran-pergeseran kecil tersebut. Detik yang mengejar menit, menit yang mengejar jam, dan jam yang berusaha menangkap hari. Kau bangun seperti harimu masih panjang, kau tersenyum layaknya pegawai yang diberi bonus besar, dan makan seperti kakek-kakek pengguna kartu kredit yang diberi potongan harga sesuai umur. Kau bahkan belum memahami betapa waktu yang kita miliki hanya tinggal beberapa saat lagi.

Terpisahkan jarak bukan keinginan utamaku. Mereka bilang, apalah artinya jarak bila saling mencintai. Kan sudah dekat di hati, walaupun jauh di mata. Bodoh, siapa gerangan yang tak ingin berada di sisi orang yang mereka cintai? Mereka bilang, cinta bisa mengalahkan jarak. Lantas, kebenaran-kebenaran lain? Bagaimana? Dibiarkan begitu saja?

Pagi-pagi sekali, kau melemparkan senyum khasmu ke arah sang surya. Aku berada tepat di bawahnya. Dan seorang gadis manis tepat berada di sisiku. Kepada siapakah engkau sesungguhnya menyunggikan setengah lingkaran yang benar-benar manis itu? Kepada rintik-rintik hujan yang turun seiring dengan kabar buruk dari para pendamping bertopi tentara itu kah? Atau kepada mentari yang berusaha keras tetap bersinar agar awan-awan hitam itu berpindah sementara? Atau kepada dia yang tengah sibuk tertawa ria menatap benda bertombol itu?

Atau atas imajinasi semata ... engkau tersenyum kepadaku?

Segala kenyamanan yang telah kau berikan padaku kadang membuatku merasa segalanya tidak tepat pada letaknya. Ada yang salah. Aku menatapmu. Lama, sangat lama. Tidak berusaha membuatmu melihatku, hanya ingin memaknaimu saja. Tetap, yang bisa aku lihat hanya sepatu coklat dan jaket hitam serta kepalamu yang bersembunyi di bawah sinar siang itu. Tiba-tiba engkau menoleh, sepertinya mencari sesuatu. Dan mendadak kita saling bertatapan.

Matanya indah.

Mendadak ia tertawa terbahak-bahak. Aku terkejut. Giginya tersusun rapi, bibirnya merah merona, lesung pipinya tersungging terus menerus, bahkan tertawa sekeras itu pun nafasnya belum habis juga.
"Kau yang mencariku?" tanyanya begitu saja.
"Atas dasar apa kau berpikiran seperti itu, hah? Dasar, terlalu percaya dirimu itu memang belum hilang, yah," jawabku terburu-buru.
"Hei, sekian bulan berada di sebelahmu, masih lupa kalau instingku terlalu mudah untuk merasuki jiwamu. Memang pantas dipanggil nenek kok," jawabnya sinis.

Yah, bagaimana juga, ia adalah salah satu dari sekian ribu manusia di dunia yang memiliki insting luar biasa kuat. Diam-diam ia mengerti aku memiliki masalah hanya setelah sepersekian detik melihat wajahku. Ia mengerti kalau senyum yang aku tunjukkan padanya hanya sebagai topeng semata, masih karena sisa-sisa tangisan hari kemarinnya.

"Terserah kamu. Aku tidak berusaha mencarimu, kok" jawabku tak kalah sinis. Ia tersenyum, lantas mendongak ke atas, menatap unggas bersayap lebar yang terbang seenaknya, dari ujung tiang ke tiang lainnya. Bercuit-cuit seakan menyindir perseteruan antara aku, calon nenek-nenek yang pikun sebelum umurnya, dan dia, yang sok tahu melebihi segalanya.

Kau berjalan menjauh.
Dan kini, insting yang terlalu kuat itu berpindah menuju pikiranku. Sepertinya engkau akan pergi, jauh. Jauh sekali.

Ombak bergulung perlahan, menyambangi jari-jari yang bertanding melawan desiran air yang seakan mengajak para pemiliknya untuk terus maju, berjalan menyusuri ombak-ombak tiada tandingannya itu. Nyaris 40 tahun dikenal sebagai destinasi wisata internasional, yang pasti karena keindahan cakrawala saat mentari menutup harinya. Sebuah sore yang sempurna. Beberapa kawan berlari-lari mengejar kawanan yang mencolek-colek pipinya dengan butiran coklat yang menemani air asin itu, sisanya memilih duduk santai, bercakap-cakap dengan mereka yang memamerkan kemolekan tubuhnya, mereka yang mencari kemegahan sinar matahari, walau kendala bahasa masih menjadi raja.

Tiba-tiba sesosok bayangan menutupi panas matahari yang membakar tubuh. Engkau hadir, namun tidak dengan senyum khasmu. Engkau malah menggeser-geser pasir agar menutupi kakiku. Engkau tertawa. Engkau mengulangi hal yang sama berkali-kali, sampai akhirnya aku berlari mengejarmu. Konyol, sepertinya kita sedang berusaha untuk casting film India, berlari-lari mengejar satu sama lain, lalu berhenti, lalu tertawa terbahak-bahak. Diulang berkali-kali, sampai akhirnya lelah untuk terus tertawa.

"Angkatlah kakimu ketika berlari. Masa', kaki hanya untuk jalan saja?" katamu menyindir. Ah, lagi-lagi hobinya nyinyirin orang keluar.
"Aku berlari, hanya lokasinya saja yang salah. Masa aku harus berlari, lalu kakiku terpendam pasir lagi? Enakan juga untuk jalan," balasku. Dan percakapan-percakapan ala peserta lomba debat itu mengalir begitu saja. Sesekali engkau tertawa, lantas berteriak-teriak, lalu tertawa yang kencang. Lalu dengan berapi-api bercerita ini itu, mulai dari letak krayon 48 jenis warna yang ditukar-tukar oleh adikmu, sampai ibumu yang mulai menggoda-godamu dengan ratusan pertanyaan mengenai gadis pujaanmu.

Aku terkesiap. Gadis pujaanmu bukan orang yang asing di sekolah kami. Murid kelas sebelah yang luar biasa aktif, nyaris semua jenis organisasi di sekolah ia ikuti. Bendahara OSIS. Ketua tim modeling. Tim utama basket, futsal, sekaligus voli. Anggota redaksi majalah sekolah. Anggota segala macam organisasi yang berhubungan dengan musik. Dan masih banyak yang lain. Tak heran, ketika akhirnya engkau mendapatkan hatinya, kedudukan melukis sebagai hobi utamamu digusur oleh melihat indah wajahnya. Sepanjang waktu. Mulai dari masuk sekolah, istirahat, hingga pulang sekolah. Kau buatkan folder khusus di komputermu, yang pastinya berisi foto-fotonya, lagu-lagu favoritnya, surat-surat cinta yang tak pernah dijamah oleh matanya, dan kisah-kisahmu bersamanya.

Dan suatu hari, engkau, teman sebangku yang hanya berada di sisiku seminggu sekali, mendadak terdiam. Tak seramai dulu. Tiba-tiba ribuan kosa kata mengenai kisah lamamu engkau gelontarkan begitu saja. Betapa engkau kecewa kalau akhirnya akan seperti ini.
"Ibunya melarang kami bersama. Ia masih berada dalam tahap perkembangan yang luar biasa, dan kalau di ilmu komputer, aku adalah sebuah aplikasi dengan banyak bug yang harus segera di fix, dan kalau perlu ia harus segera mencari newest version dari aku. Kami berbeda keyakinan.." Kau menarik nafas sejenak, lantas melanjutkan lagi sumpah serapah itu. "Hei kamu! Tuhan hanya satu kan? Mengapa alasan Tuhan harus maju duluan?!" Kau berteriak, kencang sekali. Lalu menangis.
Baru kali ini aku melihat ia menangis.

Dan kini, atas nama penasaran, mau tidak mau, hati, mulut, dan otak terpaksa di sinkronisasikan bersama, demi mengucapkan pertanyaan-pertanyaan irasional, yang bahkan dengan mudah akan ditebak begitu saja oleh instingnya sebagai pertanyaan seorang gadis kepada pangeran impiannya.
"Kau.."
"Apa?"
"Masih mencintai ia yang dulu kau puja-puja sebagai gadis paling sempurna dalam hatimu?"
Kau terdiam. Kadang kamu mendongak, kadang kamu menunduk. Sesekali kamu menoleh ke arah mentari yang sedang rapat dengan para awan di angkasa, bertanya kapan rembulan datang.
"Tidak lagi. Tapi kalau ditanya mengenai rasa yang tertinggal, ah.. Banyaklah perasaan yang masih terperangkap dalam namanya. Tiap malam masih ku bertanya, atas dasar apakah Tuhan memisahkan yang pernah dipertemukanNya. Dan kini aku telah menemukan jawabannya," jawabmu gembira. Jantungku berpacu dengan waktu. Jangan, jangan katakan kalau kau telah memiliki newest version dari gadismu itu. Tapi, sekali lagi, perasaan ingin-tahu itu selalu muncul begitu saja tanpa pernah diperintah.

"Malaikatku dulu sudah ditarik Tuhan karena ia tak bisa menjagaku sepenuh waktu. Ia terlalu sibuk memikirkan dirinya. Kini, Ia mengirimiku yang lain. Yang jauh lebih sempurna. Dan mungkin sebentar lagi ia akan menjadi milikku, selamanya." Kamu tersenyum lebar, menoleh kepadaku, tertawa kecil-kecil. Ternyata giginya dikawat.

"Kau akan merestui hubungan kali ini, kan?"
Kalau tadi benda segenggaman tanganku berpacu melawan jarum yang berdentang memutar itu, kini ia berhenti mensuplai darah ke otak. Dunia berputar begitu saja. Kadang berputar ke kiri, lalu balik arah ke kanan. Lalu naik ke atas, dan tiba-tiba dihempaskan ke bawah.

"Pasti. Bahagiakanlah dirimu, kawan," jawabku. Kamu pergi begitu saja.

Senja nyaris menutup hari, entah ia yang terlalu cepat mengunjungi hari ini, atau ia memang sudah lelah. Semburat jingga menyusup ke balik awan di angkasa, sembari mengucapkan sampai jumpa atas kenangan hari ini. Kawan lama berlari menghampiriku, memeluk tubuhku, mengerti aku cukup lelah atas keadaan ini. Ia memelukku sepanjang jalan, dan segala tindakannya mengingatkanku akan dirimu. Kamu pernah memanjakan gadis itu makanan, dan kini kawan lama ini juga melakukan hal yang sama. Hanya hal kecil, namun maknanya meresap.

Dan pikiran mulai beradu argumen dengan hati. Bertanya apakah bisa kami, kawan lamaku dengan diriku bisa kembali seperti dahulu, karena terlalu banyak hal yang pernah kami lakukan, dan kami saling merindu. Jawabannya hanyalah anggukan kepala.
Kami pun tertidur dalam pelukan satu sama lain, walaupun dalam hati menangis, bertanya kemana dirimu kini.



Dua tahun. Dua puluh empat bulan. Tujuh ratus tiga puluh hari. Tatapan matamu tak pernah berubah, hanya kadang bersikap lebih ramah padaku, tapi mendadak dingin. Tapi malam itu, engkau memintaku datang ke rumahmu.
"Menjamu engkau sebagai tamu, sekali waktu engkau harus mencoba masakan ibuku. Terlalu lezat untuk dilewatkan," katamu.

6.30 sore, jalanan memang mulai ramai. Terompet-terompet dengan suara khas bersahutan, bersiap menyambut tahun baru. Ibumu menghidangkan banyak makanan. Mulai dari makanan daerah sampai makanan ujung bumi. Sekitar 12 orang duduk melingkar di meja super-besar ini, tertawa antar satu sama lain. Ia memiliki 3 saudara. Bersama ayah dan ibunya, total 6 orang. Ada kakek-nenek dari orang tuanya, serta seorang wanita muda di sebelahnya. Mungkin inilah gadis yang ia puja itu. Cerita tolol yang diceritakan oleh orang tolol kepada gadis tolol yang mencintainya.

Piring-piring kotor itu kini dirapikan oleh gadis ekor kuda yang tadi duduk di sisinya. Mungkin mereka nyaris menikah. Atau sebentar lagi bertunangan. Yang jelas, gadis itu memang calon menantu yang diidam-idamkan semua ibu dan bapak.

Ia mengajakku keluar. Memandangi hamparan langit malam di puncak gedung sebuah hotel. Ia mulai bercerita, dua tahun terakhir ia meminta maaf tak pernah bisa bersenda gurau bersamaku, ia tengah melanjutkan studi di luar negeri. Menjadi seorang ahli bahasa, mempelajari ratusan manuskrip sastra kuno, menerjemahkan beberapa novel, sekaligus menjadi public speaker. Engkau bercerita mengenai ribuan anak muda yang dengan senang hati hampir setiap hari menjamah buku-buku di perpustakaan, bukan seperti tanah pertiwi, yang mana malah diperbudak oleh ponsel jutaan itu. Engkau terus bercerita layaknya tak ada hari esok.

Namun tiba-tiba engkau terdiam, berhenti sejenak sambil mengambil nafas, panjang sekali. Aku merinding, tak seperti biasanya engkau begini. Penuh perasaan, namun di sisi lain malah terlihat ketakutan. Tepat 135 detik engkau berdiam diri begitu saja.

"Bagaimana kabarmu selama ini?" tanyanya.

"Baik-baik saja," jawabku singkat. Ia hanya berdehem pendek, lalu berjalan lagi. Kembali bercerita mengenai ratusan karya sastra yang ternyata perlahan membuatmu gila, karena hanya demi menceritakan seorang gadis cantik pujaannya, seorang sastrawan membuat puluhan jilid buku, dan engkau, mau tidak mau, harus membaca dan memaknainya satu persatu.

"Lalu aku sadar. Kadang cinta memang tak bisa semudah mematahkan jarak begitu saja. Ada yang harus diperjuangkan, lebih dari sekedar berlari-lari. Apalagi kalau pintunya sudah ditutup. Wah, terlambat," katamu sok puitis.

"Kau tahu alasan mengapa aku sampai pergi kemana mana, kan?" aku mengangguk. Mencari pelampiasan. Cintamu tidak sampai ke tangan orang lain. Apalagi hatinya.
"Suatu malam aku tersadar, wanita yang selama ini aku butuhkan bukan orang yang ada di negara orang. Dia sudah ada selama ini di sisiku, tertawa-tawa bersamaku, menangis bersamaku, yang pasti.. ia selalu ada di sampingku."

Engkau menengadah, menatap langit. Membiarkan air mata itu mengalir perlahan.
Ini kali kedua aku melihat wajahmu bersimbah bulir-bulir air mata.
Lalu engkau mengusapnya begitu saja. Dan tertawa. Terbahak-bahak pula.

"Bagaimana lelaki idamanmu itu? Masih sama seperti dahulu?" tanyamu. Aku menggeleng.
Lelaki itu adalah kamu. Dan sampai detik inipun, engkau tidak menyadarinya.

"Akan kuceritakan setelah engkau selesai bercerita mengenai pujaan hatimu yang terbaru."

Mendengar kisahmu, gadis itu memang sempurna. Dan kemungkinan besar, gadis itu adalah dia yang duduk di sampingmu tadi.
Bagus!
Hari ini kita akan merayakan pedihnya hati, yang sudah digores-gores, lalu ditaburi garam.

"Baiklah, kini giliranmu. Ceritakan padaku."

"Aku tidak ingin muluk-muluk. Semua bahkan sudah selesai sebelum dimulai. Cinta yang belum sempat dijamah itu kini berlari lebih cepat, mungkin karena ia sudah pergi entah kemana saja. Lagipula kemungkinan besar ia telah memiliki tambatan hati. Jadi, ya sudah. Aku akan menyusul kepergiannya dengan kepergianku."

Kamu terdiam. Kurasakan desiran angin malam makin menerpa diri. Aku tidak betah berada di atas sini.
Tapi kau malah menahan tanganku.
Lalu mengecupku, perlahan.
dan tak berkesudahan.

"Aku berharap aku belum terlambat untuk mengejarnya kembali..." katamu. Belum terlambat.
Cukup lama kita berada di sana. Aku bertahan melawan angin, dan engkau menggenggam tanganku erat.
Sampai akhirnya engkau menyadari sebuah cincin bertengger di jari manisku. Engkau tersenyum, namun seperti yang sudah kukatakan tadi, kekuatan instingmu berpindah pada jiwaku. Engkau hanya berpura-pura.

"Sepertinya, kali ini aku terlambat lagi."
Engkau tertawa-tawa keras sekali, amat sangat lebar, sampai akhirnya engkau meninggalkanku begitu saja.

Warna kawat giginya biru muda.


----------

Ngiahahaha draft dari tahun ke-sekian yang baru sempet di post. Terimakasih sudah membaca! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar