Minggu, 13 Juli 2014

Senja di Pagi Hari

Dingin malam membekap tawanya. Hitam hari ini hanya bertabur kerlip bintang yang labil; sebentar terang, sebentar hilang. Desing motor terdengar nun jauh di sana, tipis-tipis mengganggu keheningan malam.

Sudah lewat 3 jam dari jam tidur orang normal. Ketika orang-orang beranjak bangun, ia belum tidur. Ketika orang beranjak tidur, ia selalu memilih untuk terjaga. Sembari menatap gelapnya malam, berpikir mengapa ketakterhinggaan itu malah terasa menutupinya, melindunginya.

Katanya, gelap malam adalah saat yang pas untuk melepaskan hasratnya. Tidak ada orang yang melihat, pun mendengarnya. Sehingga, ia tak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh dari orang bodoh. Kerlip-kerlip bintang sudah menjadi santapan hariannya. Kadang, ketika rembulan menampakkan dirinya, ia menyapanya dengan senyuman, walau seringkali hanya menatapnya sambil membisu.
3600 detik itu telah lewat.

Momen-momen terindah dalam perputaran roda kesehariannya, menangkap warna jingga yang pucat di langit gelap. Ada harmoni tertentu ketika gelap malam itu berubah menjadi sinar-sinar lurus yang menembus awan, sambil menahan panas di hidung. Kadang, ia bingung menatap biru, atau merah yang menggantikan si jingga. Ia marah. Ia ingin jingga yang berada di sisinya. Jingga yang menyapanya hangat. Jingga yang memudar sambil menghangatkan. Jingga yang pergi terlalu cepat. Jingga yang ia sayang.

Lalu, ia jatuh terlelap dan menemukan bayang-bayang masa lalunya dalam lamunannya. Semua hal terasa ambigu, berada dalam batas antara maya dan nyata, ada yang palsu namun terasa asli. Ia mencecap lagi bagaimana indahnya mencinta, bagaimana indahnya merindu. Seperti pisau yang menggores lidahnya. Ia merindu, namun tak mampu berujar, jadi hanya sakit yang mampu ia dekap, sampai mentari menjelang. Ia yakin, orang itu masih tersenyum ketika ia berusaha mengejarnya. Ia yakin, orang itu masih berdiri di balik sinar mentari. Ia yakin semua itu nyata. Ia yakin, baru saja ia berusaha mengejar bayangan.

Warna jingga berbaur dengan gelap malam itu menjadi candu tak tertahankan. Hampir setiap hari, ia terjaga, demi menunggu pemandangan luar biasa tersebut. Ketika langit di sisi timur mulai bercahaya sedangkan di sisi barat masih bertabur bintang, mengerjap perlahan-lahan, takut dikalahkan sang surya. Warna-warnanya terasa, menyakitkan. Seperti kebahagiaan yang disusupi kegelapan, seperti putih tercoreng hitam. Menyakitkan memang, ketika memilih candu terhadap hal-hal yang mematikan. Metafor itu tidak benar-benar berguna sekarang, malah ia berusaha membantunya menarik pelatuk. Lebih cepat, lebih baik.

Ia tak tahu bagaimana mengakhiri semua ini. Caranya mengakhiri bagian-bagian dalam hidup (singkat,padat,jelas), tidak sama berat seperti ketika proses kehidupan mengakhiri hidupnya (menjengkelkan dan tak mau berakhir begitu saja).

Pada akhirnya, senja membiarkan mereka membuat cerita masing-masing.

Senja di pagi hari, 
bercerita bagaimana embun pagi membiaskan dirinya, menyusupi jendela-jendela rumah ketika langit mulai terang.
bercerita mengapa gelap malam adalah satu-satunya momen terindah dalam kurun waktu hidupnya.  bercerita mengapa sakit hanya diderita ketika semua orang tersadar (dan terlambat, tentunya.)
Senja di pagi hari, 
bercerita bagaimana kisah rembulan menjadi cinta monyetnya.
menjadi cinta pertamanya.
menjadi orang pertama yang mematahkan hatinya.
menjadi cinta terakhirnya. menjadi kisah sejatinya. 
Senja di pagi hari,  seringkali mengisahkan betapa kebetulan dalam kesejajaran hidup ini malah melukai.

Sama seperti bumi yang terus berotasi tanpa henti, ia akan terus menunggu dan mengejar bayangan itu. (Sampai sekarang? iya.)

1 komentar:

  1. thankyou, Ros! oiya aku lagi asyik baca TDV loh wkwk gabungin trus bikin pdf seems a good idea deh kayaknya. I appreciate you! keep going bro! (or sis?)

    BalasHapus