Kamis, 17 Juli 2014

Reviews: The Fault In Our Stars.

Hi, there! Sesuai dengan janji kemarin, aku akan nge-post movie/music review. But, kali ini aku akan ngasi triple combos! Yup, I'll reviewing our new tearjerker stories, The Fault In Our Stars aka #tfios. Cerita antara Hazel Grace Lancaster (Hazel) dengan Augustus Waters (Gus) ini menjadi gas air mata buat semua orang, muda-tua, laki-perempuan, galau-happy, single-couple, etc. Yah, yang single nyari cowok kayak gitu, yang couple berharap begitu.

The Fault In Our Stars ini sendiri sudah menjelma menjadi 3 bentuk. Pertama, novel. I do really appreciate the way John Green, the #tfios author tells us the story about love, not love story. This kind of love was hard to find, tapi Green membuat kita terus percaya mengenai eksistensinya. Yah, walau hanya sekedar cerita fiksi, tapi seenggaknya kan menginspirasi.

Cerita ini sendiri bermula dari seorang gadis muda penderita kanker, Hazel Grace, yang mengikuti pertemuan khusus penderita dan survivor kanker di gereja. Hingga suatu saat, ia bertemu dengan Augustus Waters serta temannya, Isaac. Sepulang dari pertemuan tersebut, Gus mengajak Hazel ke rumahnya untuk menonton film. Hazel menceritakan rasa penasarannya terhadap sebuah novel berjudal An Imperrial Affliction; Kemalangan Luar Biasa. Ia pun meminjamkan buku itu kepada Gus, dan Gus berjanji akan meneleponnya seusai membaca buku tersebut. Hazel diam-diam menanti telpon Gus. Hari demi hari, akhirnya Gus selesai membaca buku tersebut dan ikut penasaran dengan ending yang menggantung. Hazel bercerita bahwa ia telah mengirim banyak surat kepada Peter Van Houten, sang pengarang buku tersebut, namun tak ada satu pun yang dibalas.
Hingga suatu hari, ketika Gus menelepon Hazel, ia membacakan balasan email dari Lidewijk, asisten dari Van Houten. Hazel yang terkejut akhirnya ikut mengirim surat kepada Van Houten. Balasan surel tersebut mengajak Hazel menuju Amsterdam. Beruntung, wishes dari Gus belum dipakai, sehingga Gus bisa mengajak Hazel, gadis yang mengenalkannya pada pengarang novel KLB menuju Amsterdam.

Hari pertama di Amsterdam, mereka berkeliling kota sekitar, serta menikmati makan malam di sebuah restoran. Di sana, Gus yang mengenakan 'jas kematian'nya mengatakan perasaannya pada Hazel. Sekembalinya dari restoran, mereka kembali berjalan-jalan, bersama.

Esoknya, baru mereka menuju ke rumah Peter Van Houten. Sebenarnya, Hazel dan Gus berharap akan adanya jawaban dari akhir kisah KLB. Namun, tak disangka, sambutan Van Houten malah kacau balau. Mulai dari tak ingin membalas, menyetel lagu Rusia (adegan paling ga jelas!) sampai akhirnya mereka bertengkar, dan memilih keluar. Namun, Lideuwijk menyusul mereka dan mengajak mereka menuju rumah Anne Frank, survivor dari kekejaman NAZI. Di museum tersebut, tangga -yang merupakan musuh utama Hazel- berhasil ditaklukan. Dan sesampainya di lantai paling atas, Gus mencium Hazel dengan penuh kasih sayang, tak peduli bagaimana keadaan sekitarnya. Orang-orang malah bertepuk tangan, melihat sepasang kekasih yang 'cacat' ini saling melengkapi satu sama lain.

Pada keesokan harinya, Gus pun mengajak Hazel berbicara, berdua saja. Gus mengungkapkan cerita sesungguhnya, bahwa sebenarnya tumornya kembali muncul dan sudah menyebar kemana-mana. Ketika itu, Hazel masih di rumah sakit setelah paru-parunya kembali terisi air, dan Gus menjalani pemeriksaan MRI. Namun, ia tak ingin memberi tahu Hazel. Hazel menangis (ampuni, adegan ini ga nguati, serius.) dan Gus juga.

Sepulang mereka dari Amsterdam, Gus masuk ke rumah sakit dan menjalani Kemo. Gus menjadi orang yang lemah, selalu terbaring di kursi roda. Dan Isaac, sahabat Gus, kini menjadi 'benar-benar buta' serta dicampakkan oleh Monica hanya karena buta. Akhirnya, suatu hari, Gus, Isaac serta Hazel menuju rumah Monica, dan melempari mobilnya dengan telur.

Hari demi hari, Hazel tidur dengan khawatir. Khawatir menerima telepon tengah malam dari Gus, khawatir dengan keadaan Gus, khawatir dengan segalanya. Hingga suatu ketika, nomor telepon Gus memanggilnya. Untung, itu benar-benar Gus yang menelepon. Saat itu, Gus meminta Hazel pergi ke gereja, membacakan pidato kematian (eulogi(?)) Gus. Isaac dan Hazel didapuk menjadi pembaca pidatonya. Menurut Gus, ia ingin mendatangi pra-pemakaman, jikalau ia sudah mati dan tidak bisa mendatangi pemakamannya.

Ada juga hari dimana tiba-tiba Gus meneleponnya, memohon dengan saat bantuan Hazel untuk memasang alat bantu (atau apa?) miliknya. Saat itu, ia tengah berada di pom bensin, ingin membeli rokok. Terang saja, Hazel khawatir dan hendak menelepon 911. Namun Gus menolak, karena ia ingin bisa mengerjakannya semua sendiri. Gus meraung-raung sambil menangis, seiring dengan datangnya ambulans. (ini juga ga nguati!!)

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya, Gus berpulang. Hazel, yang tengah malam mendengar telepon rumahnya berdering, tiba-tiba terjaga. Dan ketika kedua orang tuanya masuk, ia tahu apa yang terjadi. Ia menangis sambil berteriak-teriak, perih rasanya ketika kita tahu bagaimana rasanya berada di posisi Hazel.

Saat hari pemakamannya, Hazel maju dan membacakan pidatonya. Namun, tak diduga, Van Houten juga datang disana. Ketika Hazel hendak pulang, Van Houten malah ikut masuk dalam mobilnya dan memberikan kertas. Van Houten bersikeras menceritakan mengenai akhir kisah KLB, yang mana kisah tentang anaknya yang terkena kanker. Tak kuat, akhirnya Hazel mengusirnya.

Di novel, Hazel akhirnya mengetahui surat-surat terakhir dari Gus lewat sobekan buku (cmiiw), namun di film, surat terakhir Gus untuk Hazel (dalam bentuk pidato untuk kematian) itu dikirim kepada Van Houten dalam bentuk email. And this email, surely makes you cry.

So, that's the end of story. Untuk novel dan film kurang lebih sama, hanya beberapa penyesuaian biasa. Untuk soundtrack, banyak artist ternama yang mengisi. Diantaranya, ada Ed Sheeran dengan 'All Of The Stars' di movie credit, ada Birdy dengan 'Not About Angel' ketika Hazel berkendara sepulang bertemu dengan Van Houten di pemakaman Gus dan 'Tee Shirt'. Ada juga Troye Sivan (5sos) dengan 'The Fault In Our Stars', Charli XCX dengan 'Boom Clap', M83 dengan Wait, Lykke Li, dan banyak lagi. Untuk lagu yang mendayu-dayu, listen to 'All I Want' by Kodaline dan So far, penjualan soundtrack ini cukup laris, terus menanjak seiring dengan film-nya sendiri.

Untuk hal-hal yang kurang sreg, sebenarnya cuma terletak pada pemain. Agak aneh aja, ngelihat Woodley dan Elgort yang jadi Beatrice Prior serta Caleb Prior di Divergent sebagai kakak-adik yang keluar dari faksi kini malah menjelma menjadi Hazel Grace serta Augustus Waters sebagai sepasang kekasih. Apa ini pertanda bahwa idiom 'Kakak-adik adalah pacaran yang tertunda' itu benar? WAH, SELAMAT YA! Buat kalian yang di brother-zone atau sister-zone, sebentar lagi kalian akan resmi menjadi couple! Cuma, ya tau deh ..
Overall aku puas banget karena filmnya bener-bener cocok dengan novel, sesuai sama imajinasi aku waktu baca, walaupun yang diganti cuma diiiiiikit banget. For the soundtrack, good enough lah buat lagu galau, apalagi Birdy dengan 'Not About Angel'nya.

Last, sedikit cerita dan curhat, mungkin. Kebetulan aku memilih untuk membaca novelnya dulu, karena waktu itu movienya belum masuk Indo, apalagi ketika baca di internet masih 22 Agustus, damn it. Dan ketika nonton, kayaknya emang ga nangis parah-parah, mungkin karena tempat duduk yang terlalu maju, atau karena aku udah tau jalan ceritanya? Dan, curhatnya, pas lagi enak-enak dengerin Ed Sheeran di movie credit, kan lagi bubaran. Tiba-tiba ada manusia-berbaju-hitam yang nunjuk aku, said something like 'itu juga' deh kayaknya, sambil ketawa ketawa. WTF, apa karena aku nangis? Emang sebioskop gaada yang nangis? Lah Kim Kardashian aja mewek ga karuan. Semoga yang lidahnya sekarang kegigit ga ngetawain orang lain lagi yang nangis di bioskop. Mau lu ngetawain Kim? Mau lu digigit sama Kanye West kayak Suarez? MAU? HAH?! *maap* *lagi emosi*

Yah, sekian dulu review dari The Fault In Our Stars. Kayaknya ada beberapa yang miss, sih. Maapin yah, karena ini cuma seinget aku aja nulisnya. Need to know your feedback about the movie. Soon I'll post music review, first album from Sam Smith, 'In The Lonely Hour'. Thankyou, fellas!

Rate:
4,5 out of 5 (Novel)
4 out of 5  (OST and Movie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar