Minggu, 30 Agustus 2015

to Infinity, and beyond!

Holla, fellas! Mungkin ini akan menjadi post terakhir di blog (so sad to tell you this) setelah hampir 5 tahun ngendon disini. Ga cuma percintaan yang perlu move on, nulis di blog juga. Sejak TIK mulai mempelajari tentang wordpress, kayaknya aku bakalan belok haluan ke sana juga, sorry blogspot!
Tapi blog ini tetep ta buka kok, mungkin kalo suatu saat aku rindu dirinya (?) dan butuh cerpen, yha bakalan kabur kesini, he he he ..

Sebagai post yang akan mendapat 1st place ketika visitors membuka blog, aku mendedikasikan 'ala-ask.fm' fi-imdes anak IA7 2015-2016! Yep, mereka adalah teman-teman tercinta selama hidup di sinlui, yang nemeni selama 2 tahun terakhir ( ada yang 3 tahun tapi cuma empat orang), yang tau Jane hobi marah kalo tidur huahaha. Yha emang sih ini telat banget karena udah menginjak kelas 12 (which means udah senior, udah tua, udah mau jadi anak kuliahan, dan masih fix jomblo akut galauan pula)

Yep, ternyata ketakutanku waktu awal masuk kelas 11 tidak terbukti. Aku yang waktu itu ketakutan mendapat teman-teman sekelas yang frik (emg ada yang frik seh haha), takut kelasnya nge gap, pendiam, ternyata malah terjadi sebaliknya! kelasnya ancur banget kalo rame huahaha
Okay, seperti ritual biasanya, langsung aja aku fi+imdes-in satu persatu (iyanih, sekarang udah jadi cc-cc gawl ask.fm) 

Sabtu, 15 Agustus 2015

Am I?

Seringkali, kita mengajukan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Kebingungan mencari alasan hidup, mengapa ini dan itu harus terjadi, kemana kita pergi setelah ini, dan bagaimana mengatasi perasaan?

Bagaimana mengatasi perasaan menjadi satu pertanyaan menarik yang patut diperhatikan. Bukan lagi bagaimana cara menahannya, tapi bagaimana agar tidak ketahuan?

Kita akan terus berlari mengejar kenyataan dan jawabannya
Apa benar cinta itu ada;
atau kita menyalahartikannya dengan rindu semata?

Dan ketika lelah mencari jawabannya, kita akan duduk dan bertanya:
"Apa aku jatuh cinta?"

Senin, 06 Juli 2015

Time Travel

Holla fellas! Akhirnya, setelah sekian lama engga update blog dengan rutin, hari ini aku memutuskan untuk kembali dari hiatus-ku sebagai blogger. Yup, I'M BACK! *tebarconfetti* Yah, walaupun mungkin nanti bakalan aku isi dengan banyak galauan, aku usahakan isinya lebih dari sekedar basa-basi cinta. Now I'm joining the 'Reading Challenge', jadi aku bakalan baca novel, nulis resensi, dan kasih komentar. Silahkan kasi komentar supaya lebih asyik dalam mbahas bukunya, yaw!

Sebenernya, alesan utama aku kembali nge-blog adalah karena (tiba-tiba) aku sadar, some parts of my life bener-bener cinta menulis. All this time, aku cuma mbayangin apa yang ingin aku tulis di dalam kepala, di dalam kamar mandi. So, after keluar dari kamar mandi, POOFT! Hilang semua. Great, then. I'm such a forgetful person, so I have to write everything on memo, huehehe. Also, inspired by my bestbud, Chika (ig: bedatapisama) yang mulai upload vlog untuk mengekspresikan dirinya. It's a good thing, uh?

Okay, cukup untuk pembuka kembalinya Jane ke dunia curhatan galau, let's go to main topic.

Hari ini aku dan Yoga, my childhood bestfriend, memutuskan untuk nonton Terminator: Genisys sebagai pengisi waktu luang liburan. 4 out of 5 lah, keren efeknya, sedikit rumit bahasanya (fisika banget lah). Starring Arnold Schwarznegger, John Clarke, and Jai Courtney, this is a comeback for the bodybuilder master! Sebenernya, agenda nonton hari ini simpel saja. Dateng bioskop, duduk, nonton, pulang. Stupid me, I'm replaying some memories.

"Aku duduk di bangku B10 dan B11. Hawa dingin mengusik tubuhku, sehingga aku memutuskan untuk meminjam jaket  milik Yoga. Motifnya simpel, zebracross. Black and white.  Aku ingin menyeberang ke hatinya, tapi lampu merah itu menyala cukup lama. Aku tahu, aku harus mencari jembatan penyebarangan agar lebih mudah, ya kan?

Film belum lama diputar, tapi hawa makin dingin. Entah mengapa, aku selalu refleks menyandarkan kepalaku ke bahu partner menontonku. Selalu. Wanita, pria, adikku,tanteku, aku tak peduli. Sejujurnya, aku rindu ketika aku berada di sisinya. Menggenggam erat tangannya ketika aku ketakutan, mendengarnya ketika menjelaskan plot-twist yang ribet, atau menutup mataku saat akan ada adegan 17+. Hal-hal kecil yang selalu membuatku jatuh hati padanya.

Bahkan aku jatuh hati pada aroma jaket biru itu. Aku selalu gagal menjelaskan bagaimana aromanya. Tidak manis, tidak juga harum. Aroma itu menenangkan, dan aku hafal. Aku akan langsung mengenali bahwa ini bau tubuhnya. Aku hafal, karena dalam setiap pelukan tubuhnya, aku akan menarik nafas dalam-dalam, ingin mengirimnya pesan bahwa aku takkan melupakannya. Tidak sedetikpun.

Film hari ini mulai berceloteh tentang kehidupan. Tidak penting. Aku akan menjalaninya sendiri dan aku akan menghafalkannya sendiri. Aku bosan, dan aku langsung menarik ujung lengan jaket ke hidungku.

Aroma yang sama.
Lalu aku menangis, merindukan dirinya.
"Aku belum pernah melepaskanmu seutuhnya, ya kan?" Pikirku dalam hati.
"Tidak akan pernah." "

Dan begitulah cara aroma tubuh seseorang yang kau cintai merusak seluruh ketegangan film action. Kadang aku ingin mengacaukan alur waktu, sama persis seperti di film Terminator. Cukup masuk ke mesin, mencegah hal buruk terjadi, dan masa depan akan berubah. Tapi, mana ada mesin waktu? Menunggu doraemon aja kali ya...

Pada akhirnya, aku terus bertanya pada Yoga, sabun apa yang ia pakai, apa bahan jaketnya, apa merk pewanginya. Terjawab sudah pertanyaanku selama ini, "apa merk-nya?" Sudah berulang kali aku keluar masuk supermarket, membuka botol-botol pewangi, mencocokkan baunya. Terus seperti itu, dan hasilnya nol. Tak pernah kutemukan.

Hari ini, aku sadar. Sejauh apapun aku mencari, pada akhirnya orang terdekatmu lah yang akan memberi jawaban. Masalahnya, aku bahkan tak tahu apakah aku harus meminta maaf, marah, atau berterimakasih pada Yoga. Argh ....

Well then, sekian dulu curhatan-semi-cerpen kali ini. Thanks for reading! Xx.

Senin, 08 Juni 2015

Amplop Pastel

Ia mengaduk-aduk teh pekat dalam cangkir putih di hadapannya. Sudah 30 menit lebih, dan ia tetap duduk termenung. Pikirannya kosong, seakan ada yang menculiknya pergi jauh dari dunia nyata.

Malam semakin gelap. Lampu-lampu mulai menyala, samar-samar terlihat cahayanya dari balik dinding. Posisi duduk mereka yang tepat membelakangi panggung membuat kondisi malam itu sama seperti malam-malam biasanya. Suram, tak tersentuh cahaya. Rembulan diatas hanya mampu mengawang begitu saja, tiada suara.

Gadis itu lalu menangis. Bulir-bulir air matanya jatuh tepat di atas senyumannya. Kecantikannya makin terpancar seiring dengan senyum yang terus mengembang. Namun apabila kau mendengar suara tangisnya, entah tangis atau tawa yang sebenarnya ia pilih.
Dan pria di hadapannya, menangis sejadi-jadinya dalam hati. Ada pisau yang menyayat mereka. Tumpukan kertas di meja mulai basah, ditambah dengan hujan rintik-rintik yang membasahi bumi malam itu.

Pria itu pernah berjanji, suatu hari nanti ia akan pergi. Mencari jalan masa depan bersama sang gadis, menjemputnya kembali lalu berlari bersama sampai tua. Pria itu pernah berjanji, tiada hal yang mampu menggantikan cintanya pada sang gadis. Pria itu pernah berjanji, begitu kata sang gadis. Tarikan nafasnya masih tersendat-sendat, tapi ia berusaha berbicara.

Bahkan surat-surat ini belum pernah ia baca, belum sekalipun tersentuh jemarinya yang kasar. Surat-surat berlapis amplop bewarna pastel, dengan tulisan yang begitu manis. "Open if you miss me," "Open if you need me", "Open when you need to know how much I love you", dan puluhan surat bernada cinta yang membanjiri meja itu, kini menguning dan menua di balik kotsk biskuit. Pria itu hanya mampu mengelusnya perlahan. Meletakkan surat balasannya yang pertama dan terakhir.

"Open this to help you moving on from me."

Author's note: yay as requested, akhirnya aku bisa nulis cerpen super pendek ini (?) Maafkan reader (yak, aku tahu Nancy kau pasti yg baca ini) karena menjadi cerita yg supee pendek, biar nanggung dan bersambung ala sinetron Indonesia. Much love, xoxo.

Amplop Pastel

Ia mengaduk-aduk teh pekat dalam cangkir putih di hadapannya. Sudah 30 menit lebih, dan ia tetap duduk termenung. Pikirannya kosong, seakan ada yang menculiknya pergi jauh dari dunia nyata.

Malam semakin gelap. Lampu-lampu mulai menyala, samar-samar terlihat cahayanya dari balik dinding. Posisi duduk mereka yang tepat membelakangi panggung membuat kondisi malam itu sama seperti malam-malam biasanya. Suram, tak tersentuh cahaya. Rembulan diatas hanya mampu mengawang begitu saja, tiada suara.

Gadis itu lalu menangis. Bulir-bulir air matanya jatuh tepat di atas senyumannya. Kecantikannya makin terpancar seiring dengan senyum yang terus mengembang. Namun apabila kau mendengar suara tangisnya, entah tangis atau tawa yang sebenarnya ia pilih.
Dan pria di hadapannya, menangis sejadi-jadinya dalam hati. Ada pisau yang menyayat mereka. Tumpukan kertas di meja mulai basah, ditambah dengan hujan rintik-rintik yang membasahi bumi malam itu.

Pria itu pernah berjanji, suatu hari nanti ia akan pergi. Mencari jalan masa depan bersama sang gadis, menjemputnya kembali lalu berlari bersama sampai tua. Pria itu pernah berjanji, tiada hal yang mampu menggantikan cintanya pada sang gadis. Pria itu pernah berjanji, begitu kata sang gadis. Tarikan nafasnya masih tersendat-sendat, tapi ia berusaha berbicara.

Bahkan surat-surat ini belum pernah ia baca, belum sekalipun tersentuh jemarinya yang kasar. Surat-surat berlapis amplop bewarna pastel, dengan tulisan yang begitu manis. "Open if you miss me," "Open if you need me", "Open when you need to know how much I love you", dan puluhan surat bernada cinta yang membanjiri meja itu, kini menguning dan menua di balik kotsk biskuit. Pria itu hanya mampu mengelusnya perlahan. Meletakkan surat balasannya yang pertama dan terakhir.

"Open this to help you moving on from me."

Author's note: yay as requested, akhirnya aku bisa nulis cerpen super pendek ini (?) Maafkan reader (yak, aku tahu Nancy kau pasti yg baca ini) karena menjadi cerita yg supee pendek, biar nanggung dan bersambung ala sinetron Indonesia. Much love, xoxo.

Rabu, 29 April 2015

Degradation

Degradation, a self-note.

Mengalami penurunan bukanlah hal yang kuinginkan, kecuali penurunan berat badan. Penurunan yang kualami kali ini seakan-akan ingin mempermalukan aku dan (kalau bisa) meludahku dengan stok air liur yang tak terbatas. Aku malu. Aku kecewa. Aku tak yakin mampu menghabiskan sisa 12 bulan di Sinlui dengan keadaan memalukan seperti ini.

Pertama, aku sungguh-sungguh bukan gadis idaman pria, sedangkan kini mulai menjamur pasangan-pasangan muda. Yela, siapa juga yang ngarep punya pacar. Kadang sedih aja, mengingat di kelas ada satu anak yang berwajah mirip dengan dia. Ngh. Keinget lagi kalau sampai nenek nenek juga ga bakalan bisa dapat si dia 😧

Kedua, 32. Ini bukan nomor absen atau nomor togel. Ini adalah nilai KIMIA bab BUFFER dan HIDROLISIS GARAM kampret itu. Demi meningkatkan nilai kimia menjadi kepala 5 (sebelumnya selalu 4), aku meminta salah satu temanku yg pintar untuk mengajarku selama 4 jam nonstop. Ekspetasi sebelum ulangan:" Halah, sudah diajari semua, pasti bisa!" // Ekspetasi sesudah ulangan:"60 bisa gak ya.. 50 juga gapapa deh asal jangan 4 lagi." // Setelah dibagi:"ANJIRRRR SAK KELAS PALING JELEK."
Kadang aku tisak mengerti kemana harus membuang muka ini. Simpan di kantung kayaknya masih mengeluarkan bau busuk.

Ketiga, organisasi siswa. Entah mengapa karena aku baru join tahun ini, rasanya tiba-tiba useless. Kadang aku mikir, apa sih tugas humas? Sebagai penyambung lidah civitas sinlui? Tapi mengapa setiap kali saya bersuara, tak ada satupun yang mampu bertepuk tangan tanda setuju? Yang ada hanya lirikan mata dan keheningan. Cih. Lalu untuk apa jadi panitia kalau hanya sebagai pajangan semata?

Keempat. Gabungan dari ketiga masalah tadi. Suatu komposisi unik yang mampu mengubah hidupku menjadi lebih terdegradasi,
mencapai level terendah.

Kamis, 29 Januari 2015

Embun Hangat di Balik Kaca

(Catatan kecil untuk mereka yang tengah menanti ..)

Aku
terjebak
dalam
kisah semu.

Bayangannya buram. Hanya ada kelabu di balik kaca berembun di hadapanku. Tidak ada yang mampu melihat dengan jelas apa yang ia lakukan. Mungkin ia tengah melilitkan handuk ke tubuhnya, atau malah sedang membasuh sabun-sabun licin beraroma mint favoritnya.

Sama seperti semua yang telah kita lalui. Aku tak pernah paham maksud di balik segala kisah di bawah awan mendung. Ketika aku duduk termenung menunggu langit kembali cerah ...

Karena aku tahu kau tak akan datang ketika hujan tiba.